Pengarang: Tere-Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Nilai: 3/5
“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin… Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya…”
Baru tadi pagi saya menutup sampul belakang novel ini, novel pertama yang saya habiskan dalam satu malam setelah sekian lama–finally ada juga novel yang membuat saya bersemangat membaca! Dan… sedikit kecewa dengan ending yang diberikan Tere-Liye di sini.
Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin adalah novel kedua Tere-Liye yang saya baca. Dan sekali lagi harus saya akui bahwa diksi yang digunakan sungguh luar biasa. Dalam novel ini, Tere-Liye telah merangkai kata demi kata, menjalin jadi paragraf, dan merengkuh keseluruhannya dalam satu buku yang begitu indah. Saya suka gaya menulis Tere dalam novel ini. Begitu sederhana, apik, namun sangat menggugah.
Tere-Liye menggunakan kata-kata sederhana dan menyulapnya menjadi kisah romantis berdiksi menawan. Sungguh, saya jatuh cinta pada gaya penulisan pengarang dalam novel ini. Itulah alasan utama mengapa saya dapat merampungkan novel ini. Tere-Liye berhasil merebut perhatian saya dan memaksa saya menamatkan karyanya yang ini sesegera mungkin. Aih, sungguh saya dibuat jatuh cinta dalam larik-larik dalam Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.
Novel ini sendiri berkisah tentang Tania, dan dari sudut pandang Tania. Seorang gadis yang di awal kisah tengah memandangi jalan dari lantai dua toko buku. Tania mulai berkisah tentang hidupnya, tentang masa lalunya, dan tentang kisah cintanya.
Bagaimana ia dan adiknya, Dede, bertemu sosok malaikat—sosok yang sepanjang jalan cerita menjadi pusat gravitasi cinta Tania. Sosok malaikat itulah yang mengubah hidup Tania dan Dede, memberikan masa depan yang jauh-jauh lebih baik daripada apa yang mereka bayangkan di bawah terik mentari dan kepulan asap dan rumah berdinding kardus.
Danar, namanya, seorang pria muda sukses yang mendadak datang ke kehidupan sengsara keluarga kecil itu. Pria itu menyelamatkan kehidupan Tania berserta Dede, menyekolahkan mereka, mengajarkan mereka banyak hal, membesarkan mereka, menguatkan mereka ketika ibu mereka dipanggil menghadap Tuhan. Pria itu jugalah yang menjadi pusat kehidupan Tania.
“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin…”Itulah yang dikatakan Danar ketika sang ibu meninggal dunia kepada Tania. Danar mengajarkan banyak hal kepada Tania—juga Dede. Dan perasaan bernama cinta adalah hal penting yang diajarkan Danar. Awalnya Tania kecil tidak mengerti perasaannya, namun seiring waktu ia mengenal perasaan itu. Dan begitulah inti kisah ini. Tentang cinta Tania kepada Danar, sang malaikat.
Danar adalah pusat dunia Tania!
Melaui sudut pandangnya, Tania mengisahkan kehidupan cintanya, bagaimana perasaannya kepada Danar, dan betapa ia mencintai pria itu. Dan dib agian akhir, sebuah rahasia besar terungkap. Bahwa sebenarnya Danar juga mencintai Tania. Meski saat itu Danar telah menikah dengan seorang gadis bernama Ratna, namun selama ini pria itu mencintai Tania, gadis kecil yang dulu berkepang dua.
Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin adalah sebuah cerita cinta bertepuk sebelah tangan. Sebuah kisah tentang dua orang yang sebenarnya saling mencintai, namun sama-sama memendam cinta itu dan memilih untuk tidak saling memiliki—memilih untuk tidak mengungkapkan perasaan itu.Sebuah kisah cinta yang…. klise.
Iya, klise. Bukankah cerita cinta semacam itu klise? Bukankah kisah cinta Tania kepada sang penolongnya itu bukan hal baru dalam dunia sastra roman? Namun, semuanya termaafkan dengan diksi indah Tere-Liye dalam novel ini. Sungguh, saya jatuh cinta pada diksinya!
Dan akhir yang diberikan Tere-Liye, bagi saya pribadi, sedikit mengecewakan. Bagaimana Danar mendiamkan pernyataan Tania. Dan bagaimana Tania pergi dan memutuskan untuk tidak kembali ke kota kelahiran mereka. Padahal saya sudah mengharapkan sesuatu yang menggigit di akhir, di penghujung cerita sebuah kisah yang dituturkan dengan kalimat-kalimat berdiksi cantik,
Alur cerita maju-mundur dari sudut pandang Tania juga menjadi daya tarik tersendiri yang menutupi kisah cinta klise dalam novel ini. Dari sudut pandangnya, Tania menceritakan masa kini, kemudian masa lalu, dan kembali ke masa kini, lalu masa lalu, dan begitulah seterusnya. Sepanjang novel ini, Tania mengisahkan kehidupannya dengan pola seperti itu. Dan saya tidak bisa melepaskan mata saya dari pola penceritaan ini.
Ah, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin memang sebuah novel roman klise yang ditulis dengan diksi cantik dan beralur menawan.
Dan novel ini juga mengajarkan hal besar…
“Bahwa hidup harus menerima… penerimaan yang indah Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli dari mana penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang, Tak masalah mesti lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Karena tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Karena daun yang jatuh tak pernah membenci angin.”Tere-Liye berhasil membuat saya terhanyut dalam cerita Tania. Dan Tere-Liye juga berhasil mengajarkan kenyataan bahwa tidak pantas menyalahkan lingkungan—dan Tuhan—atas segala kejadian yang menimpa kita. Juga mengajarkan bahwa memang beginilah adanya hidup, bahwa tidak selamanya kita akan berada dalam penderitaan.
Meski kisah cinta Tania dan Danar membuat saya sedikit sentimen karena betapa mereka berdua begitu enggan mengakui perasaan dan membuat segalanya terasa menyedihkan sepanjang cerita ini. Dan saya jadi teringat kisah-kisah cinta ABG labil—nan galau—membaca bagaimana kalut perasaan Tania.
But, overall, saya cukup puas dengan novel ini. Tere-Liye memiliki gaya bahasa yang membuat segala kekurangan dalam novel ini—nyaris—sirna di mata saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar