penulis Djenar Maesa Ayu
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun 2005, cetakan I
Tebal 180 hal
Pernah dengar istilah "sastra wangi"? Itu lho, sebutan yang beberapa
waktu lalu sempat dialamatkan kepada para perempuan (cantik) penulis yang
belakangan berbondong-bondong meramaikan dunia penulisan cerpen/novel kita.
Mereka di antaranya adalah : Ayu Utami, Dewi Lestari (Dee), Fira Basuki, dan
Djenar Maesa Ayu.
Nama yang terakhir ini cukup merebut perhatian
sejak buku kumpulan cerpennya yang pertama -- Mereka Bilang Saya Monyet (2003)
-- diluncurkan, disusul kemudian dengan buku keduanya, masih kumpulan cerpen
juga, Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2005). Cerpen-cerpen yang ada di kedua
buku tersebut banyak yang mengangkat tema seksual dan perempuan. Judul-judul
cerpen itu amat provokatif. Apakah ini salah satu kiat agar laku terjual? Bisa
jadi, sebab ternyata kedua buku tersebut meraih sukses dalam penjualannya,
terbukti telah mengalami beberapa kali cetak ulang.
Setelah sukses dengan cerpen-cerpennya, ibu dua orang anak ini, menerbitkan
novel pertamanya : Nayla. (Seperti Seno yang kerap menamai tokoh ceritanya
Sukab, Djenar pun suka menamai tokoh perempuan dalam cerita-ceritanya, Nayla)
Tak berbeda jauh dari beberapa cerpennya, dalam Nayla, Djenar kembali
mengangkat tema seksualitas perempuan (bukan aktivitas seksual tetapi masalah
seksualitas, demikian ia pernah menjelaskan dalam sebuah wawancara) Tampaknya
ia terlanjur akrab dengan tema seperti ini. Dia menggugat ketertindasan
perempuan dalam urusan seksual. Selama ini, menurutnya, perempuan cenderung
hanya menjadi obyek seks (pihak yang dinikmati) saja, pada hal mereka juga
berhak menikmatinya. Salah satu faktor penyebabnya adalah kesalahan mitos. Yang
paling merugikan dan paling tidak adil adalah mitos tentang keperawanan.
Laki-laki menciptakan mitos perempuan ideal. Perempuan ideal adalah
perawan....Itulah bukti kesucian yang harus dijaga sampai tiba saatnya malam
pertama (hal.78)
Cara Djenar menyampaikan protesnya sering menggunakan kalimat-kalimat yang
terkesan vulgar, meski barangkali ia hanya sekedar ingin jujur mengatakan apa
adanya. Bagi mereka yang merasa risih dengan tulisan-tulisannya, saya bisa
mengerti, sebab wajar saja ada yang terkaget-kaget tatkala mendapati sesuatu
yang biasanya hanya ada di ruang-ruang privat, kini tiba-tiba kita melihatnya
di tengah-tengah publik. Namun, tak perlu cemas berlebihan, karena setiap zaman
memang ada wakilnya sendiri-sendiri dan Djenar tengah mewakili era itu : era
budaya pop.
Nayla adalah seorang perempuan yang hidup dengan trauma seksual. Masa
kanak-kanaknya dilalui dengan berbagai peristiwa tidak menyenangkan :
perceraian orang tuanya, ibu yang otoriter dan kasar, diperkosa oleh pacar
ibunya serta pernah dimasukkan paksa ke panti perawatan korban narkotika oleh
ibu tirinya, meski ia bukan seorang pecandu. Nyaris tak pernah ia merasakan
manisnya dunia kanak-kanak. Ia hanya sempat mengecap bahagia sejenak ketika
tinggal bersama ayah kandungnya.
Berbagai penderitaan itu membentuk Nayla menjadi sesosok pribadi yang rapuh
sekaligus mandiri. Ia sempat menggelandang sebelum akhirnya terdampar di sebuah
diskotek. Di sana ia bekerja sebagai juru lampu. Di sana juga ia bertemu Juli,
perempuan yang kemudian menjadi pasangan lesbiannya. Oleh sebab Juli terlalu
posesif, mereka akhirnya putus hubungan. Selanjutnya, Nayla pacaran dengan Ben,
kali ini lelaki.
Melalui novelnya ini, Djenar mengusung masalah kehidupan masyarakat kota
metropolitan, dunia yang akrab dan sangat dikenalnya. Anak-anak malang produk
keluarga broken home seperti Nayla, banyak kita jumpai dalam masyarakat kita
sehari-hari. Jika mereka lulus dari ujian itu, mereka akan menjadi sosok-sosok
tegar, kuat dan mandiri menentang kerasnya kehidupan. Tetapi jika mereka kalah,
tak mustahil kehancuranlah yang akan mereka alami. Djenar tampak menguasai
betul permasalahan yang dihadapi tokoh-tokoh metropolisnya, bahkan sepintas
saya sempat berpikir bahwa Nayla merupakan penggambaran sebagian diri Djenar.
Penggunaan berbagai atribut kehidupan masyarakat kota modern dalam novelnya ini
- email, internet, sms, diskotek, minuman keras - menandai kelas sosial
tokoh-tokoh yang diceritakannya.
Sebenarnya cerita ini bisa lebih berbobot jika Djenar mau menggugat lebih jauh
lagi permasalahan perempuan di negeri kita, bukan melulu seputar seks. Masih
banyak ketidakadilan yang diterima perempuan dari keluarga/rumah tangga,
masyarakat, maupun negara di luar masalah seks. Seks memang penting tapi bukan
segalanya.
Konon, sastra yang baik tak akan lekang oleh waktu dan memberi pencerahan ,
meski hanya berupa setitik cahaya. Apakah Nayla memberikan pencerahan itu?
Penilaian atasnya, saya serahkan sepenuhnya kepada pembaca.